Peluncuran Biografi Bati Mulyono: Menelusuri Sejarah Kelam Operasi Petrus di Era Orde Baru

Biografi Bati Mulyono ungkap sejarah kelam operasi Petrus Orde Baru dan perjuangan menuntut keadilan HAM yang belum terselesaikan.

Peluncuran Biografi Bati Mulyono: Menelusuri Sejarah Kelam Operasi Petrus di Era Orde Baru
Peluncuran Buku Biografi Bati Mulyono

KONTENSEMARANG.COM - Sebuah buku biografi berjudul “Bati Mulyono: Target Pertama Operasi Penembakan Misterius” resmi dirilis bertepatan dengan 100 hari wafatnya Bati Mulyono pada Sabtu malam, 2 Agustus 2025, di Alam Indah, Semarang. 

Buku ini menjadi pengingat atas salah satu bab gelap dalam sejarah Indonesia, yakni operasi rahasia Penembakan Misterius atau yang lebih dikenal dengan istilah Petrus di era Orde Baru.

Buku tersebut mengisahkan perjalanan hidup Bati Mulyono salah satu korban yang selamat dari operasi rahasia negara yang menargetkan para tersangka kriminal tanpa proses hukum. 

Dikenal sebagai figur kontroversial, Bati ternyata menyimpan kisah yang jauh lebih kompleks.

Penulisan buku ini merupakan hasil kolaborasi dari sejumlah tokoh dan akademisi seperti Idha Budhiati (putri Bati Mulyono), Lita Handayani, Hendrar Prihadi, Komaruddin Hidayat, Sugeng Teguh Santoso, hingga Budi Utomo. 

Mereka merangkum kesaksian, pemikiran, dan dokumentasi sejarah yang selama ini nyaris tak tersentuh oleh publik luas.

Dalam sambutannya, Idha Budhiati menekankan bahwa biografi ini lahir bukan hanya sebagai bentuk penghormatan keluarga terhadap almarhum, tetapi juga sebagai kontribusi dalam menggugah kesadaran publik tentang pelanggaran HAM masa lalu.

“Kami ingin mengubah narasi. Ayah saya bukan hanya sosok yang diberitakan sebagai kriminal, tetapi juga korban dari kebijakan represif yang melanggar hak asasi manusia,” ujar Idha.

Salah satu aspek penting dalam buku ini adalah dimuatnya surat wasiat dari Bati Mulyono yang menolak pencalonan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional dan mendesak penyelesaian kasus Petrus secara hukum. 

Ia juga tercatat hidup dalam pelarian sejak 1983 hingga runtuhnya rezim Orde Baru pada 1998, dengan komunikasi yang terbatas melalui sahabat dekatnya, Budi Utomo.

Menariknya, selama pelarian tersebut, Bati mengumpulkan kliping berita-berita terkait Petrus dari berbagai media nasional. 

Dokumentasi ini kemudian disebarkan ke beberapa perguruan tinggi sebagai bahan kajian sejarah, salah satunya ke Universitas Jember (UNEJ). 

Di kampus tersebut, dosen Rian Adhivira bersama mahasiswa merancang website petapetrus.com yang memetakan lokasi kejadian Petrus dan menyediakan akses publik terhadap dokumen-dokumen arsip.

“Melalui platform ini, kami ingin generasi muda bisa mengenal sejarah secara terbuka dan bertanggung jawab,” kata Rian.

Dalam diskusi peluncuran buku, hadir pula Atnike Nova Sigiro dari Komnas HAM yang menyatakan bahwa kasus Petrus termasuk dalam 12 kasus pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki dan diserahkan ke Kejaksaan Agung. Namun hingga kini belum ada proses hukum lebih lanjut.

Atnike berharap agar pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tetap menunjukkan komitmen dalam penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu, baik melalui jalur yudisial maupun non-yudisial sesuai amanat UU No. 26 Tahun 2000.

Pihak keluarga menegaskan bahwa peluncuran biografi ini tidak bermuatan politik. Buku ini ditujukan sebagai kontribusi terhadap literasi sejarah dan pendidikan kewarganegaraan, agar tragedi masa lalu tak terlupakan.

“Kami ingin publik memahami bahwa keadilan dan hak asasi manusia adalah pondasi penting negara demokrasi,” tutup Idha.